Terkurung Di Hutan Hidup - part05
“Brother, tungguin gua napa?”
“Ngapain lo ngikutin gua? Bukannya lo ada
di pihaknya Frans ama yang lainnya? Biar gue aja yang ngebuktiin kalo hutan ini
tuh gak kayak yang kalian bilang”
“Bukan itu masalahnya brother kita
ini teman sekelas, eh bukan, kita ini tim. Lo udah lupa ya ama lencana ini?”
Menunjuk lencana yang dia kenakan di
jaket jeansnya, dia mencoba meyakinkan Irfan.
“Buat gua itu cuman lencana biasa, gak
ada istimewanya”
“Tapi brother me...”
“Tim?! Tim mereka bilang?! Tim apaan yang
tiap anggotanya gak bisa ngertiin anggota lainnya?”
“Beda pendapat itu kan wajar brother,
kita cuman musti toleran ama pendapat anggota lainnya. Lo gak bisa mutusin
pendapat cuman kerena lo punya alesan sendiri kayak gini brother?!”
“Asal lo tau ya, sebenernya tuh gua gak
mau ngambil keputusan ini. Tapi karena tingkah kalian yang selalu mentingin
tujuan kalian yang bikin gua yakin buat ngambil keputusan ini. Yang ada di
pikiran kalian cuman tujuan, tujuan dan tujuan”
“Ya emang itu kan...”
“TUJUAN KITA DATENG KE SINI, IYA?!! Gua
bingung deh, seberapa pentingnya tujuan itu di bandingin nyawa kita, he?”
“...”
“Jawab!! Kenapa diem?!”
“I-itu...”
Tak bisa mengucapkan apapun untuk
membalas semua perkataan Irfan. Kepalanya terasa kosong dan tidak ada kata-kata
apapun di dalamnya. Dengan tubuh yang lelah karena membawa tas yang bisa di
bilang cukup berat di punggungnya. Di tambah dengan situasi saat ini yang
semakin rumit, sangat berbeda dengan apa yang mereka perkirakan saat akan
berangkat ke hutan ini.
Kejadian aneh dan juga teman-temannya
yang tewas oleh sosok tak di kenal yang menyusupi tubuh Dio. Tak luput juga
Irfan yang tiba-tiba berlainan pendapat dan memilih untuk kembali ke titik awal
mereka, yaitu pintu gerbang hutan ini. Itu sudah cukup untuk membuat Leo merasa
kebingungan menemukan kata-kata yang tepat agar pikiran Irfan bisa berubah dan
kembali ke dalam tim.
“Kenapa diem? Lo gak bisa jawab kan!!”
“...”
“Sekarang semua terserah ama lo. Kalo lo
ada di pihak mereka dan kedatangan lo ke sini cuman buat ngeyakinin gua kalo
mereka itu bener. Mendingan lo balik ke mereka”
Leo sedikit terdorong saat Irfan
menunjukkan jari telunjuknya ke dadanya. Kemantapan pada pendirian terpancar
dengan kuat dari mata Irfan. Sangat kecil kemungkinan Leo akan berhasil
membujuknya untuk kembali bersamanya.
“I-iya gu...”
“Tapi kalo lo ada di pihak gue...lo ikut
gue”
Tak peduli apa yang akan Leo lakukan dan
Leo putuskan, Irfan meninggalkan Leo yang masih tetap pada tempatnya. Untuk
beberapa alasan Irfan sangat yakin jika Leo akan kembali pada Frans.
Kebingungan dan mencengkeram kepalanya
sendiri dengan kedua tangannya. Dalam keadaan seperti itu dia harus mengambil
keputusan secepat mungkin. Kembali pada kelompoknya, atau mengikuti Irfan yang
berpendirian tetap dengan pendapat pribadinya.
“Hah! Ok! Kalo lo gak mau balik ama kita,
gua bakalan balik ke sana sendiri”
“Terserah!”
Irfan memang orang yang teguh. Sangat
terlihat saat dia sama sekali tidak membalikkan badannya ataupun wajahnya saat
menjawab perkataan Leo.
“I-ini...”
Leo terkejut. Apa yang ada di depan
matanya saat ini bukanlah jalan yang dia lewati sebelumnya. Dia ingat dengan
jelas bahwa jalan yang dia lewati adalah jalanan kecil berupa rumput yang
terdapat rerumputan liar yang tidak terlalu tinggi di pinggirannya.
Kemana jalan itu?. Mungkin itulah yang
Leo pikirkan saat ini. Berulang kali dia menepuk pipinya juga mencubit mukanya
sendiri untuk memastikan bahwa apa yang di lihatnya ini bukanlah halusinasi.
Namun tak ada perubahan apapun setelahnya. Hanya rasa sakit di kedua pipinya
yang dia rasakan.
“K-kanapa...bagaimana...?”
Jalanan kecil yang baru saja di lewatinya
kini menghilang. Di hadapannya saat ini hanyalah rerumpuan liar yang tinggi dan
juga pepohonan yang di hiasi dengan tanaman menjalar. Dia sangat ingat bahwa
dia tidak pernah menemuinya saat masuk ke hutan ini. Selain itu, rumput yang di
injaknya saat ini adalah rumput yang sama dengan rumput pada jalan yang ia
lewati sebelumnya, dia mengingatnya dengan sangat pasti.
“J-jadi bener...kita gak bisa keluar dari
hutan ini”
Leo mulai ketakutan, tidak ada lagi jalan
kembali untuk menemui Frans, Chiko dan Chelsi. Dia berusaha meyakinkan dirinya
sendiri bahwa apa yang di lihatnya ini hanyalah ilusi. Namun keberaniannya
untuk menerjang ilusi itu tidak bisa muncul dari dalam hatinya.
“Fan, apa yang Vida bilang beneran Fan.
Kita gak bisa keluar dari hutan ini selain sampe di tujuan kita Fan”
“...”
“FAN, LO KENAPA DIEM AJA FAN!!”
“...”
“IRF...”
Tidak bisa terucap. Saat Leo melihat apa
yang ada di belakangnya, dia tidak bisa melanjutkan untuk menyebut nama
temannya itu. Dia juga kesulitan untuk mengeluarkan suaranya kali ini.
Bhughk
Apa yang dia hadapi kali ini benar-benar
membuatnya tidak sanggup untuk bergerak lagi. Di sekitarnya hanya ada pepohonan
yang di hiasi tanaman menjalar yang cukup banyak. Juga rumput liar yang tinggi
yang membuat area hutan di sekitarnya terlihat begitu liar.
“Kalian musti
selamet...Frans...Chiko...Chelsi. Dan...lo juga...Irfan”
Leo hanya bisa meringkuk setelah dia
melepaskan tas yang di bawanya dari punggungnya. Pandangannya benar-benar
kosong, dia hanya bisa melihat ke arah rumput yang dia duduki sekarang. Setelah
tahu bahwa jalan yang di laluinya sebelumnya, juga jalan yang barusaja Irfan
lewati menghilang. Dan lokasi dimana dia berada saat ini telah berubah menjadi
pepohonan yang di temani tanaman menjalar juga rumput liar, dia menjadi sangat
putus asa.
Mungkin ini akhir buat gua.
Memejamkan matanya setelah mengatakan
kalimat itu pada dirinya sendiri, lalu membaringkan tubuhnya di rerumputan
hutan dalam keadaan yang sangat cukup untuk menyebutnya dengan “gelap” dan dia
juga tetap memeluk lututnya dengan kuat, juga perasaan amat takut di hatinya.
***
“Hhhh...hhhh...hhh...”
Dengan tetap membopong Chelsi di sebelah
kiri tubuhnya, kedua matanya memandang sebuah bangunan yang cukup tua. Mirip
dengan beberapa candi yang di bangun di daerah timur, atau lebih tepatnya
daerah sekitar Asia Tenggara. Candi itu berbentuk seperti pyramid dengan
bagian sisinya di buat berundak.
Daerah di sekitarnya adalah tanah lapang
yang tidak terlalu luas dengan sedikit rumput. Sekitar tiga puluh persen dari
keseluruhan luas tanah lapang itu yang di tumbuhi rumput, sementara sisanya
adalah tanah dengan lumut di atasnya dan hanya sedikit permukaan tanah yang
tidak di tutupi oleh tumbuhan apapun.
Beberapa sisi dari candi itu juga di
tumbuhi beragam tanaman liar. Walaupun yang paling dominan adalah lumut hijau
yang tebal, tanaman terbanyak setelahnya adalah tanaman menjalar. Beberapa
bunga kecil terlihat menghiasi tangga pendek menuju pintu masuk candi. Kuning,
merah dan putih. Warna itu tersebar di atas rerumputan hijau yang menjadi
dasarnya.
Keluar
dari wilayah tanah lapang adalah hutan yang mengelilingi bangunan candi itu.
Tidak terlihat adanya jalan lain selain jalan yang di lewati oleh ke tiga
mahasiswa itu.
Dalam
pikiran meraka bertiga, mereka mengira bahwa salah seorang teman mereka, Leo,
telah berpihak pada Irfan yang memilih untuk kembali ke titik awal perjalanan
dan tidak menghiraukan perkataan Vida tentang jalan keluar dari hutan aneh itu.
Chelsi
nampaknya belum bisa sepenuhnya pulih dari rasa sedih karena kehilangan sahabat
terbaiknya itu. Bukannya menebak perasaan, tapi tatapan matanya dengan jelas
memperlihatkan isi hatinya. Dengan bangunan yang menyimpan pintu keluar di
dalamnya, seharusnya dia merasa senang. Tapi padangannya yang kosong bahkan
tidak menunjukkan adanya rasa senang di hatinya. Bukan juga berarti dia tidak
memiliki rasa senang sama sekali di hatinya.
“Ini
dia tujuan kita, Chiko”
“Ya.
Tujuan awal yang tadinya buat nyari penemuan bersejarah...berubah jadi
petualangan mencari pintu keluar”
“Yah...mau gimana lagi. Awalnya gua ngira
kalo perburuan kita ini cuman perbururan biasa. Tapi ternyata, tempat ini
banyak penjaganya”
“Terus kita nunggu apaan lagi?”
Dengan nada bicara yang sangat jelas
menunjukkan sebuah canda, Chiko berjalan perlahan meninggalkan kedua temannya.
Dia juga menoleh dengan senyuman saat berada pada dua langkah pertamanya. Dia
tahu bahwa dirinya dan juga temanya sedang berada pada situasi yang tidak
nyaman. Tapi satu yang dia tahu dan hal itu terus berada di kepalanya. Dia
selalu ingat bahwa senyuman bisa membuat orang yang kita sapa menjadi sedikit
lebih senang. Dengan tersenyum pada orang lain juga berarti secara tidak
langsung kita membuat orang itu untuk ikut
tersenyum.
“Woi jangan main nyalip aja lu! Tungguin
kita napa?”
“Makanya ayo buruan! Ntar pintunya lari!”
“Lu gila ya? Pintu mana bisa lari”
Melihat pada Chelsi sekali lagi, Frans
untuk ke sekian kalinya berusaha untuk mengubah suasana hati sahabatnya itu.
Membelai lembut bahu kanannya untuk
mengalihkan pandangan Chelsi. Chelsi menanggapi tindakan orang yang di
sukainya, dia menoleh ke kanan ke arah tangan Frans yang tengah membelainya,
lalu melihat pada wajah Frans dengan sedikit mengangkat kepalanya. Tubuh Frans
yang sedikit lebih tinggi darinya membuatnya melakukan hal itu.
“Tinggal dikit lagi, kamu pasti bisa.
Kita nggak akan membuat pengorbanan Vida jadi sia-sia”
Dengan perlahan dan suara yang lirih, Frans
mencoba menyemangati Chelsi. Memandang kedua mata Chelsi dengan senyuman dan
Chelsi membalas tatapan itu.
“Ya, Frans. Aku nggak akan nyia-nyiain
pengorbanan temen baikku sendiri”
Nada sedih terdengar dari balik suara
kecil Chelsi. Suaranya bergetar, tapi Frans tidak ingin membahas tentang hal
itu saat ini. Dia lebih memilih untuk mengucapkan kata-kata ataupun malakukan
hal yang bisa membuat Chelsi menjadi kembali semangat.
Aku tahu kalo Chelsi suka banget sama
aku...
Tapi...
Itu...
Hahhh...
Mungkin aku harus nyoba bukak sedikit
pintu hati aku buat Chelsi. Mungkin aja itu bisa ngubah suasana hatinya yang
sekarang.
“Chelsi. Mungkin ini bukan waktu yang
tepat tapi aku harus ngomongin hal ini”
“Sekarang?”
“Ya sekarang”
Mudah-mudahan ini berhasil
Komentar
Posting Komentar