Terkurung Di Hutan Hidup - part02

www.merinding.com


Chiko mengambil akik itu dan melihatnya dari dekat. Dia melihat akik itu dengan sangat teliti serta mengingat kembali apakah dia pernah memiliki akik itu atau tidak.
“Kayaknya bukan deh”
“Coba inget-inget lagi, jangan langsung ambil kesimpulan gitu. Lo kan pelupa orangnya”
“Iya gua bener-bener inget, nih akik tuh bukan punya gua. Gua yakin banget!”
“Lah terus punya siapa dong?! Yang hobi ama akik di sini kan cuman lo doang. Adek lo gak mungkin, Pak Dosen enggak, anaknya malahan hobi musik, gua juga udah pasti 100% nggak hobi ama yang gituan”
“L-lo jangan bercanda men. Ini gak lucu”
“Kok tiba-tiba lo ketakutan gitu sih? Kenapa emangnya ama tuh akik?”
“Nih akik sih gak papa. Cuman kita sekarang lagi ada di hutan. Gua udah yakin banget kalo gua cuman bawa satu akik warna coklat”
“Lah emang napa?”
“Akik yang gua punya, semuanya gak ada apa-apanya alias kosong. Dan sekarang kita tuh di hutan men. Gua takutnya nih akik tiba-tiba ada di sini karena ada isinya men!”
“Ah ngaco lu ngomongnya!”
“Bisa aja kan lo lupa, lo tuh orang pelupa banget bray! Gua dah tau banget sifat lo tuh kayak gimana”
“...” Chiko mencoba mengingat kembali akik yang dia bawa ke pendakian itu.
Masa sih gua lupa bawa? Gua yakin banget kalo di climbing ini gua cuman bawa satu akik. Gua emang pelupa ama berbagai hal soalnya pikiran gua terlalu fokus ama akik. Tapi kalo udah ngebahas soal akik, ingetan gua tajem banget.
“Makanya jangan kebanyakan nonton acara dunia gaib deh lo”
“T-tapi gu...”
“Udah mendingan sekarang kita ke temen-temen deh, mereka pada nyanyi-nyanyi tuh, seru banget kayaknya. Daripada di sini ngomongin akik, males gua. Mana gua gak ngerti lagi ama masalah beginian”
“Gua mohon de...”
“Udah ayo!!”
Frans menarik tangan Chiko yang sudah terpasang oleh kedua akik itu, cokelat dan biru. Tapi Chiko masih bingung dan memikirkan dari mana asal akik biru itu.
“Lo liat adek gua gak Frans?”
“Tadi sih dia bilang...dia mau mandi di sungai ama Vida”
“Sungainya dari sini jauh gak?”
“Gak jauh kok. Kenapa emang? Jangan-jangan lo mau ngintip Vida mandi”
“Hah! Ya enggak lah! Ngapain juga gua ngintip tuh cewek mandi, daripada gua ngintipin dia nih ya, mendingan gua langsung nikahin aja tuh cewek. Biar jadi milik gua seutuhnya, bukan cuman gambar tubuhnya doang. Emang napa sih lo kok bisa mikir gitu?”
“Yaaa...Vida kan cantik, terus dia jadi idola lagi. Kalo adek lo sendiri kan gak mungkin soalnya ada hubungan darah”
“Dasar lo! Bilang aja kalo lo naksir ama si Vida. Gua bantuin ngomong ke dia deh kalo lo gak berani!”
“Terserah lo mau ngomong apa. Gak bakalan gua dengerin”
Frans dan Chiko duduk di atas batang kayu yang telah di susun mengelilingi api unggun. Ada Pak Dosen, Irfan, Rehan, Chelsi, Dio dan Leo di sana. Lagu bernuansa ceria terlihat mereka nyanyikan dengan penuh suka cita.
“Eh guys gua pamit dulu ya! Udah kebelet nih”
“Mau keman lu? Kita kan baru aja gabung. Kalo pemain musiknya pergi ntar siapa yang yang maenin musik?”
“Noh, ada Irfan yang bisa gantiin gua. Udah ya gua pergi dulu, udah kebelet nih. Fan gantiin gua ya!”
“Ok bray”
“Rehan, jangan lupa bilang permisi waktu mau buang air!”
“Tenang aja yah. Aku gak bakalan lupa!”
***
“Udah selesai Vid?”
“Iya udah Chika”
“Ya udah, yuk kita bali ke camp!”
“...”
Chika menarik tangan Vida namun dia tidak mau beranjak dari tempatnya. Vida terlihat sedang memikirkan sesuatu yang Chika sama sekali tidak mengetahuinya. Chika tahu bahwa temannya itu memiliki suatu kelebihan yang hanya dia yang memilikinya. Kelebihan itu embuatnya sedikit berbeda dengan teman-temannya yang lain. Dari luar memang kelebihan itu tidak terlihat, tapi begitu kau mengenalnya secara mendalam, kau akan mengerti tentang kelebihan yang Vida miliki.
“Lo kenapa Vid?”
“Gua ngerasa gak nyaman aja”
“Gak nyaman gimana?”
“Masak lo gak ngerasa sih?”
Chika mencoba merasakan sesuatu di sekitar mereka berdiri, dan, Chika tidak merasakan apapun yang membuatnya merasa tidak nyaman.
“Enggak tuh, yang gua rasain sekarang tuh seger. Soalnya kita baru aja mandi di air yang jerniiih banget! Emangnya...lo ngerasa gak nyaman gimana?”
“Pas mandi di sungai, gua ngerasa banyak yang dateng”
“Maksud lo?”
“Ya, gua ngerasa kayak banyak yang dateng gitu. Terus, gua kayak ditarik-tarik juga ama mereka”
“Vid, ini sama sekali gak lucu”
“Tapi gua bener-bener ngerasain itu Chika, dan...dan itu bener-bener bikin gua gak nyaman”
Chika menarik nafas, memikirkan bagaimana cara untuk menenangkan Vida yang memiliki kepekaan di atas teman-temannya. Dia memegang tangan Vida yang lain dan menatap kedua mata Vida.
“Liat mata gua baik-baik Vid! Lo cuman belom terbiasa ama keadaan ini. Lo sendiri kan yang bilang kalo lo baru ngerasa indera ke enam lo aktif waktu kita mulai ujian semester. Dan saat itu lo hampir aja gak gagal ikut ujian cuman gara-gara mikirin apa yang lo rasain ini”
“Ya terus gimana dong caranya?! Gua bener-bener ngerasa gak nyaman dan, mereka kayaknya bawa temen-temennya lebih banyak lagi ke sini”
“Vid! Lo belom terbiasa. Gua emang gak tau masalah kayak beginian. Gua cuman bisa nyaranin lo buat kuatin diri lo. Anggep aja mereka itu haters lo yang selalu ngatain lo dengan berbagai kata-kata jelek yang semuanya berbeda dengan kenyataan yang ada pada diri lo. Dan, jangan hirauin mereka”
“Tapi apa gua bisa?”
“Lo pasti bisa! Gua bakalan ada di samping lo dan selalu dukung lo”
“...” Vida merasa sedikit lebih tenang. Dia mencoba tersenyum dan menguatkan hatinya seperti apa yang Chika katakan.
“Ok. Lo pasti bisa kok, ya. Semangat ya Vid!”
“Iya, pasti” Vida kembali tersenyum pada teman baiknya itu.
“Ya udah. Yuk kita balik ke camp!!”
“Ayuk!!”
***
“Aaahhhhhh!!! Nyenyaknya tidur gua semalem. Chika, bangun Chik dah pagi! Chika?”
Vida menggerakkan tubuh Chika beberapa kali namun dia tidka juga bangun. Dia juga sudah mencubit dan menutup lubang hidung Chika tapi tidak juga berhasil.
“Chika bangun Chika! Chika!”
Saat Vida berhasil mengubah posisi tubuh Chika dia melihat warna aneh di bagian tangan, betis dan juga paha Chika. Bukan hanya itu, di bagian itu juga ada bekas tusukan. Bukan tusukan jarum atau semacamnya, tapi tusukan dari bagian tubuh binatang, seperti itulah yang terlihat.
“Toloong!! Toloong!!”
“Ada apa ini?!”
“Apaan sih ribut-ribut pagi-pagi gini?”
“Ini Pak, Chika gak bangun-bangun dari tadi. Saya udah coba bangunin dia tapi tetep gak bisa. Terus, di tangan ama kakinya juga ada bekas aneh yang saya gak tau”
Vida sangat panik dan mengucapkan segala sesuatu yang terlintas di pikirannya. Jika semua orang yang ada di sana berhasil memahami semua kalimat yang dia ucapkan dengan baik, berarti itu hanya sebuah kebetulan.
Suasana santai dan tenang setelah menikmati malam yang panjang dengan beristirahat di dalam tenda yang berada di tengah-tengah alam, seketika itu berubah.
“Tolong minggir sebentar, biar saya periksa! Irfan, ambilkan kotak P3K di tas saya!”
“Baik Pak!”
Pak Dosen memposisikan tubuh Chika sedikit lebih tinggi dari posisi sebelumya. Dia berniat memeriksa denyut nadi Chika sambil menunggu Irfan kembali dengan kotak P3K.
“Hah! Kalajengking?! Awas semuanya menyigkir!”
Saat Pak Dosen mengangkat tubuh Chika kalajengking keluar dari bawah tubuh Chika. Bukan hanya satu melainkan dua. Bisa di pastikan bahwa bekas yang ada pada tubuh Chika adalah bekas gigitan kalajengking itu.
“Apa mungkin bekas luka yang ada pada Chika ini adalah bekas sengatan kalajengking barusan? Kalau iya, saya harap dia masih bisa selamat”
“Udah cepetan periksa Pak! Saya gak bakalan bisa maafin diri saya sendiri kalo sampai ada apa-apa sama sahabat saya Pak!”
Air mata mengucur membasahi pipi Vida. Sedih bukan main saat melihat teman baiknya menderita seperti itu. Dia terus memperhatikan Chika yang tergeletak di alas tidur yang mereka Vida gunakan bersama Chika dan berharap bahwa dia akan selamat. Atau mungkin lebih tepat jika di sebut, mengharuskan Chika untuk selamat. Karena Vida sama sekali tidak ingin hal itu terjadi pada Chika. Di dalam hatinya, dia ingin bertukar posisi dengan Chika. Jika saja itu bisa di lakukan.
Pak Dosen memegang pergelangan tangan Chika dan mencoba merasakan denyut nadinya. Hanya setengah menit. Lalu dia melemparkan pandangannya pada Vida, juga mahasiswa yang lain yang berada di luar tenda.
“Ini pak P3Knya”
“...” Pak Dosen tidak segera menjawab.
“Pak??”
Dalam pikirannya, Irfan merasa sudah bisa menebak apa yang akan Pak Dosen katakan. Tentu dia tidak memiliki hak untuk mengungkapkan opininya itu karena dia sama sekali tidak melakukan pemeriksaan pada Chika.
“Chika kenapa Pak?”
“...”
“Jawab Pak, jangan diem aja!”
“Maaf, sepertinya kita harus melanjutkan perjalanan hanya dengan sembilan orang”
“M-maksud Bapak...Chi-Chika udah...”
“Dia sudah meninggal”
“Haaaahahahaaaaaa”
Kesedihan Chika semakin mejadi. Chelsi yang berada di luar bergegas masuk kedalam tenda dan memeluk Vida. Sebagai perempuan dia tentu faham apa yang Vida rasakan. Dia terus membelai rambut Vida dan mengucapkan kata-kata yang bisa menguatkan hatinya. Hingga baju Chelsi, lebih tepatnya pada bagian bahu kirinya basah oleh air mata Vida, dia belum juga bisa membuat Vida merasa lebih baik.
“Saya sudah telepon tim penyelamat yang berada di pos awal. Mereka bilang mereka akan mengurus jasad Chika. Dan, mereka juga menyarankan agar kita tetap melanjutkan perjalanan kita Pak”
“Maksudnya?”
“Saat saya menelepon mereka, mereka meminta detil lokasi dimana kita berada sekarang. Saya memberitahunya dan saya yakin mereka faham jalanan ini melebihi kita, jadi...mungki itu yang membuat mereka menyarankan kita untuk tetap melanjutkan perjalanan kita”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Furigana, Hiragana dan Katakana

Sultan Mehmed II

Terkurung Di Hutan Hidup - part03