Terkurung Di Hutan Hidup - part04

www.merinding.com


Semua panggilan mereka tidak satupun di jawab oleh Dio maupun sosok yang menguasainya.
Secara perlahan, kekuatan dari sosok itu yang mendorong semua orang ke tanah berangsur melemah. Frans dan yang lainnya dengan mudah mengangkat tubuh mereka untuk melihat apakah pemimpin rombongan mereka itu masih bisa di selamatkan.
Frans yang pertama memeriksa keadaan Pak Dosen hanya tartunduk dengan kedua tangannya masih memegang pergelangan tangan Dosennya. Semua temannya melihat ke arahnya dan ingin bertanya bagaimana keadaan dari Pak Dosen. Seakan tersumpal oleh sesuatu, kata-kata yang mewakili perasaan mereka itu tidak bisa mereka keluarkan melalui mulut mereka.
“Teman-teman, kitan harus melanjutkan perjalanan tanpa Pak Dosen lagi”
“...”
Tidak ada jawaban selama beberapa saat. Semua mata memandang ke arah Frans dengan perasaan sedih dan juga kecewa. Seakan semua ini sudah terencana, satu persatu anggota rombongan ini tewas. Mulai dari Chika, Rehan dan sekarang Dosen mereka. entah hutan apa yang mereka masuki itu sebenarnya?
“Cukup guys, gua dah gak mau lagi ngelanjutin perjalanan ini. Ini udah cukup. Gua gak mau jadi korban berikutnya”
“Tapi Fan, ini semua demi tujuan besar kita”
“TUJUAN BESAR APA!! Tujuan buat mati satu persatu, iya?”
“...”
Berdiri dan berjalan mundur menjauhi kawannya, Irfan menatap semua temannya dengan ekspresi yang tidak menarik.
“Gua bakalan balik. Apapun yang terjadi gua bakalan balik. Gua gak bakalan nurutin bujukan kalian buat nerusin perjalanan yang gak jelas ini. Emang, ini penemuan besar jika kita bisa sampe ke sana. Tapi cuman kalian yang tahu, gua enggak. Yang di panggil buat pertemuan persiapan rombongan ini cuman kalian kecuali gua. Jadi jangan salahin gua kalo gua gak sependapat ama kalian”
Berjalan berlawanan arah dengan rombongan mereka, niat Irfan sudah bulat untuk kembali ke tempat awal mereka, pintu masuk menuju hutan ini.
“Irfan, balik nggak!! Inget kita ini tim, kita udah janji buat saling ngebantu satu sama lain sebelum kita ngelanjutin perjalanan ini!”
“...”
Irfan meneruskan langkahnya dengan perlahan tanpa menghiraukan teriakan Chelsi yang mencoba membujuknya agar tidak berpisah dengan mereka.
“Dia gak bakalan bisa kembali”
“Apa maksud lo Vid?”
“Mereka udah ngepung kita”
“‘Mereka?’ Mereka siapa maksud lo?”
“‘Mereka’ mereka yang udah buat gue ngerasa gak nyaman”
“Vid mendingan lo jelasin deh! Gua bener-bener gak ngerti maksud lo”
“Waktu mandi di sungai ama Chika. Gua bilang ke dia kalo ada sosok yang buat gua ngerasa gak nyaman. Bukan cuman itu, mereka juga nyoba buat narik gua”
Dengan serius Vida menjelaskan apa yang di alaminya bersama Chika semalam.
“Maksud lo, sosok aneh yang barusan nyerang kita itu narik lo buat ikut ke dimensinya, gitu?”
“Bukan, bukan sosok itu. Tapi sosok yang lain. Gua bisa ngerasain tapi, rasanya sosok itu jauh banget dan...ketutup ama temen-temennya”
“Secara simpelnya?”
“Kita di kepung”
“...”
“Kecil kemungkinan kita bisa keluar dari sini”
“Mungkin aja jalan keluarnya ada di tempat tujuan kita ini kan Vid?”
“Itu juga kecil kemungkinannya”
“...”
“Gua bakalan bantu kalian memperbesar kemungkinan kita bisa keluar dari tampat aneh ini”
“Gua gak ngerti apa yang lo rancanain”
“Kalo emang gua mereka pengen, gua bakal ke tempat mereka”
Sedih, itulah yang Vida rasakan saat mengucapkannya. Dia tentu tidak ingin melakukan hal itu, tapi demi teman-temannya, dia akan melakukan apapun agar mereka tidak memiliki nasib yang sama dengan Chika, Rehan, Pak Dosen ataupun Dio.
“Lo, lo bercanda kan vid?”
“...”
Vida membalikkan badannya dan berjalan menuju arah yang sama dengan Dio. Dia tidak tahu apakah arah itu benar-benar menuju ke tempat sosok-sosok aneh yang menganggunya atau tidak. Tapi energi yang cukup besar dia rasakan berasal dari arah sana.
“Vida! Lo gak mungkin ngelakuin ini cuman demi kita. Inget Vid, kita ini temen. Kita udah janji buat saling sama-sama kan? Dan lo juga masih make lencana kelas kita, kelas sejarah. Itu tanda kalo ita bakalan selalu sama-sama apapun yang terjadi Vid”
“...”
Vida memegang lencana yang Chelsi maksudkan. Untuk suatu alasan dia menaruhnya di tasnya, tepatnya pada tali yang menempel pada bahu Vida. Kembali air matanya turun. Namun Vida menahan kesedihan itu dengan tidak membalikkan wajahnya dan tetap menghadap lurus pada tujuannya.
Chelsi menghampiri Vida dan memegang pundaknya. Berharap Vida juga akan mengajaknya. Namun keinginan itu tidak dia ucapkan agar keempat orang temannya tidak mencegahnya.
“Gua mohon Vid”
“...”
Vida melepaskan tangan Chelsi dari pundaknya secara perlahan, tanpa sedikitpun memalingkan pandangannya pada temannya itu.
“Maaf Chelsi, tapi keputusan gua udah bulat. Gua mohon jangan halangin gua lagi”
Vida tertunduk sejenak, lalu memandang lurus ke depan. Saat ini dia telah menemukan cara agar teman-temannya itu tidak lagi menghalanginya. Dia berlari sebisanya menuju arah yang sama dengan Dio. Dia masuk ke dalam hutan dan tak berselang lama, sura langkah kakinya tidak terdengarn lagi.
“Vida!!”
“Vida, balik Vid!!”
“Vidaaaa!!”
“...”
“Vi...da...”
Chelsi merasa benar-benar kehilangan. Setelah kedua orangtuanya, teman-teman  di kelasnya adalah orang yang penting baginya. Pertama dia kehilangan Chika. Hanya berselang satu malam Rehan di temukan tewas. Dio yang di susupi sosok aneh, membunuh Dosennya dan sosok itu membawa tubuh Dio bersamanya. Sekarang, Vida mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan teman-temannya.
“Kenapa?...kenapa harus Vida dan bukan GUA!!!”
Pandangan Chelsi kosong. Seakan kehilangan segela yang dia punya, matanya tidak lagi menunjukkan adanya semangat di dalam dirinya. Dia menggenggam tangannya di depan dadanya dan terjatuh berlutut, lalu menagis dengan tangisan yang lembut dan tanpa teriakan.
Frans berdiri lebih dulu di banding teman-temannya. Sebagai seorang atlit, dia tentu memiliki mental yang lebih kuat. Tentu itu di perlukan untuk melewati berbagai latihan yang keras dari pelatihnya.
“Gua tahu kalian semua ngerasa kehilangan. Tapi kita gak bisa cuman diem di sini. Kita musti ngelanjutin perjalanan kita”
Irfan memandang kedua mata Frans dengan tatapan yang kurang bersahabat. Frans bisa menebak apa yang akan kelaur dari mulut Irfan. Tapi dia tidak yakin apakah Irfan akan mengucapkan hal yang sama dengan yang dia perkirakan.
“Ngelanjutin perjalanan lo bilang?”
“...”
“Setelah kita kehilangan lima orang temen kita, lo masih mau ngelanjutin perjalanan ini?!”
“Vida udah bantu kita dengan ngorbanin dirinya. Apa lo mau nyia-nyiain pengorbanan dia? Bukannya dia udah bilang kalo kemungkinan kita bisa keluar dari hutan ini, itu ada di tempat tujuan kita?”
“...”
“Karena kemungkinannya kecil, Vida ngorbanin dirinya supaya kesempatan kita buat keluar dari hutan ini makin besar!! Apa lo gak denger apa yang Vida bilang barusan, ha!!”
“Gak, gua gak percaya kalo kita gak bisa keluar dari hutan ini”
“Fan...lo...”
“Udah jelas-jelas kita kemaren masuk ke hutan ini lewat pintu gerbang yang ada di bawah sana. Dan di sana udah jelas gak ada yang aneh. Petugas yang nyambut kita juga manusia kok!!”
“Ooo!! Jadi lo lupa apa yang di bilang ama sosok yang udah nyusupin Dio, kalo petugas penyelamat yang jawab telepon kita waktu di camp itu dia, ha?”
“Gua denger, gua juga masih inget kok. Cuman gua gak bakalan percaya sebelum gua mastiin itu sendiri”
“Jadi lo mau balik ke titik awal kita berangkat dan mastiin itu semua?!”
“Bagus deh kalo lo udah ngerti. Tapi bukan cuman itu aja. Gua juga bakalan buktiin kalo hutan ini tu gak ada penghalangnya, jadi kita bisa keluar dari hutan ini”
“OK!! Terserah!!! Semua keputusan ada di tangan lo, kita gak bakalan maksa”
Irfan membuktikan ucapannya, dia berjalan kembali ke titik awal dan meninggalkan teman-temannya. Dia sama sekali tidak merasa menyesal dan bahkan merasa bersalah karena memiliki keputusan yang berbeda dengan teman-temannya. Padahal, dia juga memiliki lencana kelas sejarah, sama seperti Vida dan juga Chelsi.
“Fan! Fan lo beneran mau balik?! Fan jawab gua Fan!!”
“...”
“Leo. Mau kemana lo? Lo sependapat ama Irfan?”
“Gua sama sekali gak sependapat ama Irfan. Cuman...liat lencana ini. Menururt gua, Vida milih ninggalin kita, ato lebih tepatnya ngorbanin dirinya buat kita, itu positif. Sementara Irfan yang ninggalin kita cuman karena pendapatnya berbeda total ama kita, menurut gua itu negatif”
“Terus mau lo?”
“Gua mau nyegah dia sebisa gua”
“...”
Tanpa menunggu jawaban dari Frans, Leo berlari menuju Irfan yang sudah cukup jauh darinya. Tapi Leo masih bisa dengan jelas melihat Irfan karena tumbuhan liar di pinggiran jalan yang mereka lewati ini tidak terlalu lebat.
“Leo!! Jangan maksa  kalo Irfan emang gak mau nurutin lo. Kalo lo rasa dia emang gak bisa di bujuk, tinggalin dia. Lo tau kan jalan yang bakalan kita lewatin?”
“Ok, brother lo gak perlu kuatir”
Leo sangat percaya diri saat dia mengacungkan jempolnya dan hanya menolehkan wajahnya pada Frans tanpa membalikkan badannya. Juga dia tidak menambahkan kalimat lain setelah mengucapkan kalimat itu. Dia berlari menuju Irfan dan memanggil namanya serta memintanya untuk menunggunya.
“Ok, kita musti ngelanjutin  perjalanan ini, Chiko”
“Ya, gua ngerti”
“Chelsi, gua tau lo masih belom siap buat ini, tapi bukannya Vida sendiri yang mau kita selamet. Lo gak mungkin kan ngecewain dia dengan cara lo gak bisa keluar dari hutan ini?”
Dia memang tidak menyukai Chelsi, tapi dia juga tahu jika Chelsi menyukainya. Dia mencoba merangkul Chelsi untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Juga membantunya mengusap air matanya dan membantunya untuk berdiri. Tapi itu membutuhkan sedikit waktu hingga Chelsi benar-benar bisa berdiri kembali untuk melanjutkan perjalanan.
Sekitar 15 menit Chelsi menangis di bahu kiri Frans, laki-laki yang di sukainya. Dan waktu itu juga yang di butuhkan Frans untuk benar-benar bisa membuat Chelsi merasa tenang hingga dia bisa menggerakkan kakinya untuk berjalan bersama Frans.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sultan Mehmed II

5 PANGLIMA TERKUAT PADA MASA KERAJAAN

Kesultanan Utsmaniyah