Diary Pembawa Kematian

Cerita horor kali ini berjudul Diary. Kisah seorang remaja SMA yang bertemu dengan gadis misterius di dalam perpustakaan. Gadis itu terlihat pendiam dan kesepian. Saat gadis itu meninggalkan ruang perpustakaan, dia sengaja meninggalkan buku diarynya di sana. Langsung aja baca ceritanya biar gak penasaran ya....

Diary Pembawa Kematian

Hari senin adalah hari paling membahagiakan, sebagian dari teman-temanku menganggapnya begitu. Mereka dengan sangat senang menceritakan hal-hal menarik mengenai liburan yang mereka lakukan pada akhir pekan. Menunjukkan foto-foto mereka yang penuh dengan senyuman itu padaku. Yah, walaupun aku ikut berlibur bersama mereka tapi aku akan tetap menganggap hari senin adalah hari yang membosankan.

“Kriiiiing...kriiiiing”

Aku benci ini...upacara bendera. Berdiri di lapangan dan mendengarkan ceramah dari kepala sekolah yang sama sekali tidak menarik. Jika berjemur di pantai lain lagi ceritanya. Tapi ini, berjemur dengan mengenakan seragam sekolah, benar-benar tidak menyenangkan.

“Bubar barisan, jalan!”

Tapi aku merasa senang saat upacara ini berakhir. Seakan di terpa angin yang berhembus dengan perlahan di hamparan stepa yang luas. Tidak ada siapapun di sana selain hanya aku sendiri. Itu hanya perumpamaan saja, jangan di anggap serius.

Akhir-akhir ini Bu Guru memberikan banyak sekali tugas, hingga aku kebingungan untuk mengerjakannya. Belum selesai tugas yang satu, datang lagi tugas yang lainnya.

“Dio, apa yang harus kita lakukan! Tugas Matematika dan Bahasa Indonesia yang Bu Siska berikan pada kita belum kita selesaikan. Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya saat dia marah pada kita”

“Ya, Bu Siska memang galak. Tapi...jika dia bisa sedikit lebih lembut mungkin dia akan dengan cepat mendapatkan pendamping hidup”

“Jika kau berkata seperti itu saat Bu Siska berada di sini, riwayatmu akan tamat”
 “Farhan, Reza diamlah! Aku sedang pusing memikirkan tugas-tugas itu!”
 “Apa kau pikir hanya kau saja?! Kami juga! Kami berdua juga pusing dengan tugas-tugas itu!”

“Yang Reza maksudkan bukan seperti itu, Dio. Kita tida pusing kok, hanya saja...kepala rasanya seperti mau meledak!”

Aku dengan malas menarik nafas panjang dan menempatkan tanganku di atas meja. Aku menaruh tanganku di sana sebagai bantal untuk menyangga kepalaku yang sudah terasa panas. Pikiran terus di forsir, dari pagi...hingga pulang sekolah, pukul 05:00pm. Dengan perlahan aku mengeluarkan nafasku dan mengalirkan rasa panas yang ada di kepalaku ke seluruh tubuhku.

Aku sering melakukan cara ini, tapi sayangnya...keberhasilannya tidak sesering aku melakukannya.

“Tugas matematika sudah selesai. Bukunya ada di tas”
“Benarkah Dio?!”
“Benarkah Dio?!”

Mereka tidak membuat janji sebelumnya ataupun berlatih untuk hal ini. Tapi Farhan dan Reza dengan kompak merespon  apa yang Dio katakan.

“Tapi sebagai gantinya kalian harus membantuku mengerjakan tugas Bahasa Indonesianya!”

Dengan mata sipit aku memandang mereka berdua. Aku sudah malas untuk berpikir atau...mungkin akan lebih tepat jika di sebut dengan, “Malas menggunakan otakku untuk berpikir”. Tapi...apakah pantas aku menyebutnya dengan “malas” sementara otakku sudah panas karena kelelahan berpikir? Aku rasa tidak.

“Baiklah Dio!”
“Kau tenang saja, jika kami yang mengerjakan tugas itu, kau akan mendapati tugas itu selesai dalam waktu singkat”

Aku malas untuk menjawab mereka dengan kata-kata atau kalimat panjang karena itu hanya akan membuang-buang tenagaku. Aku hanya tersenyum pada mereka lalu kembali menenggelamkan kepalaku pada “Bantal tangan” yang nyaman ini.

Aku ragu jika kalian berdua bisa menyelesaikannya dengan cepat. Selama ini yang kalian lakukan hanya mengcopy-paste dengan cepat. Sama sekali tidak aku ingat kapan kalian menyelesaikan tugas dan menunjukkannya padaku.

05:00pm

“Kriiing...kriiing”
“Haaaahhh!!! Akhirnya hari yang membosankan ini selesai juga. Aku akan mandi dengan air yang segar lalu merebahkan tubuhku di kasur yang empuk! Haaa!”

“Tapi Dio, tugas Bahasa Indonesianya...”
“Apa! Kalian sudah berjanji untuk mengerjakannya bukan?! Kerjakan tugas itu hingga selesai, jika sudah berikan padaku. Asal kalian tahu saja, aku juga ingin mengcopy-paste seperti kalian!”

“Dio, kau seram sekali saat sedang marah”

Setelah melihat mereka sejenak aku memalingkan pandanganku ke arah yang berlawanan dengan mereka lalu berjalan perlahan meninggalkan mereka. Memang ada murid yang masih berada di sekolah ini bahkan saat jam pulang sekolah. Tapi karena jadwal pelajaran yang padat, jumlah murid itu tidak terlalu banyak.

Terserah kalian bagaimana akan mengerjakan tugas itu. Yang jelas aku sudah menyelesaikannya. Bukannya aku tidak ingin memberitahukannya pada kalian, tapi aku hanya ingin tahu seperti apa jawaban kalian. Dan, sejauh mana kemampuan otak kalian itu?

“Eh!”

Seorang perempuan di dalam perpustakaan, itu yang aku lihat sekarang. Wajahnya sedikit ternodai oleh cahaya oranye dari sinar senja dari balik gedung sekolah ini. Selama beberapa detik aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Haah...dia begitu cantik.

Dengan perlahan dia membalik buku kecil yang dia baca. Aku tidak begitu sering masuk ke perpustakaan, tapi aku tahu persis mengenai ukuran buku di sana. Semuanya besar dan tebal. Berbeda dengan buku yang perempuan itu pegang, buku itu kecil dan tipis.

Tapi kenapa dia tidak segera pulang? Bukankah bel sudah berbunyi sejak tadi? Apa mungkin aku harus ke sana dan menyapanya? Dan, jika keadaannya bagus mungkin aku bisa mengajaknya pulang bersama senganku. Yah, sepertinya itu ide yang bagus!

Aku melangkahkan kakiku menuju pintu perpustakaan. Satu, dua, tiga. Pintu perpustakaan masih empat langkah dari tempatku berdiri sekarang. Tapi perempuan yang menjeratku dengan paras cantiknya itu telah berjalan keluar dari perpustakaan. Secara otomatis rencanakupun gagal.

“Mungkin lain kali ya? Gadis cantik yang misterius”

Perpustakaan ini...ah ada sesuatau di sana. Sesuatu yang berkilau, seperti memantulkan cahaya matahari yang masuk dari jendela kaca di dekatnya. Itu adalah meja tempat perempuan tadi duduk bukan? Tapi...benda apa itu?

Penasaran, aku mendekati tempat itu. Sebagian besar ruangan perpustakaan gelap, hanya sedikit saja bagian yang terkena sinar mentari yang berwarna jeruk matang ini. Di tempat itu, tepat di atas meja, terdapat sebuah buku. Dari sampulnya aku sudah bisa menebak bahwa itu adalah sebuah buku diary. Tentu tidak mungkin jika perempuan itu meninggalkan buku ini dengan sengaja.

“Ctak”

Aku membuka kancing dari buku diary itu, suaranya menggema beberapa kali di dalam perpustakaan sebelum akhirnya lenyap dan menyisakan kesunyian.
Buku diary itu kini berada di tanganku, dengan perlahan aku menggerakkan mataku untuk membaca tulisan indah di dalamnya. Benar-benar orang yang suka membukukan isi hatinya daripada membaginya pada teman dekatnya. Banyak ungkapan hati di dalam diary ini.

“Sepi. Tidak ada yang mengajakku bicara, ataupun bercanda. Mereka semua ada di sini. Aku bisa mendengar mereka dan melihat mereka tertawa. Tapi mereka tidak pernah bisa melihatku. Bagi mereka aku hanyalah sebuah nama yang tertera di daftar absensi. Aku selalu hadir di kelas setiap hari, tapi teman-temanku, mereka...mereka tidak pernah menganggapku hadir di tengah-tengah mereka. Apa salahku hingga mereka memperlakukanku seperti ini?”

Itu adalah bait pertama dari beberapa tulisan pada diary ini. Selain itu ada juga tulisan yang berbunyi seperti ini, “Aku ingin memainkan sebuah permainan, tapi aku akan menulisnya terlebih dahuli sebelum memainkannya dengan teman-temanku. Aku menutup mataku, lalau dua orang temanku bersembunyi. Aku membuka mataku dan mencari mereka, tapi aku sudah tahu dimana mereka bersembunyi. Ya, di dalam kotak merah di dekat lapangan. Aku membuka kotak itu dan tidak menemukan mereka di dalamnya. Aku...sendiri lagi. Aku...duduk dengan lutut tertekuk dan aku memeluknya. Aku mengayunkan tubuhku, aku main ayunan” sementara di bagian sudut kanan atas tertulis, “03 Oktober 2010” aku bisa memastikan bahwa ini tulisan yang sudah lama dia tulis. Apa perempuan itu menulis diarynya dari bagaian belakang buku?

“Dasar”

Aku terkecoh dengan cara penulisannya. Perempuan itu memang menulis dari arah kiri ke kanan. Tapi dia memulai tulisannya dari bagian belakang buku. Berlawanan dengan penulisan pada umumnya.

“21 Juli 2011”

Ini tulisannya hari ini. Tintanya belum lama kering dan terdapat sebuah gambar lucu di sudut kanan atas dari halaman ini. Itu seperti...gambar seorang laki-laki yang mengikuti seorang perempuan dengan kedua tubuh mereka menghadap ke kanan. Di bawahnya, gambar yang sama, hanya saja tubuh si wanita dan si laki-laki saling berhadapan satu sama lain. Dan gambar terakhir, dengan posisi yang sama, terdapat beberapa gambar hati berukuran kecil di sekitar si laki-laki dan si wanita.

“Aku bisa melihatmu menatapku dari jendela perpustakaan. Aku malu untuk melihatmu balik, jadi aku menulis tulisan ini dan meninggalkan bukuku di sini. Aku harap kau membaca tulisanku ini dan semoga kau tidak kesulitan memahami gambar yang aku buat.
Cinta”

“Tap!”

Aku menutup buku itu begitu selesai membacanya. Aku belum menembaknya tapi dia sudah mengungkapkan perasaannya melalui tulisan ini. “Cinta”, itu namamu.

05:30pm

“Ssssshhhhh”
“Haaaa...”

Aku selalu semangat bangun pagi agar aku bisa sesegera mungkin bertemu teman-temanku di sekolah. Tapi saat kegiatan di sekolah di mulai hanya satu hal yang aku ingat. Kesegaran air yang keluar dari shower ini.

“Cinta”

Aku tidak bisa menghilangkan gambar wajahnya dari dalam kepalaku. Aku belum pernah berbicara dengannya. Aku juga tidak tahu dia masuk di kelas apa tapi...aku sudah jatuh cinta dengannya?

“Sraak”
“Ctak”
“Flarrr”

Beberapa wanita mungkin akan beranggapan bahwa pria itu kurang memperhatikan kebersihan. Kamarnya acak-acakan dan dapurnya kotor oleh wadah makanan instan. Tapi buang pikiran itu jauh-jauh saat bertemu denganku, Dio.

“Brem brem”
“Bremmmmm”

“Temui aku di taman nanti malam. Hanya kita berdua saja, tidak ada yang lainnya. Kau mungkin berpikir kenapa aku mengungkapkan perasaanku melalui buku diary. Sangat aneh bukan? Ingat hanya kita berdua saja, di taman nanti malam. Jangan mengajak siapapun atau kencan kita akan berantakan...”

Aku mengira bahwa tulisannya berhenti pada halaman yang terdapat gambar dua orang yang saling jatuh cinta. Tapi saat aku membuka kembali diary wanita misterius itu, aku menemukan tulisan itu. Sebuah ajakan untuk bertemu.

“...jangan datang lebih dari pukul 07:30pm” itu adalah akhir dari tulisannya. Aku masih beruntung karena aku memiliki pikiran untuk membuka lagi buku itu saat aku tiba di rumah. Aku bergegas mandi begitu selesai membacanya. Menyiapkan motorku lalu pergi menemuinya.

“Kencan?”

Aku bahkan belum mengenalnya, tapi dia dengan mudah mengajakku kencan. Padahal yang kebanyakan terjadi adalah pria mengajak kencan wanita pujaan hatinya. Tapi ini...justru sebaliknya.

07:25pm

Aku menaruh smart phoneku di dalam saku jaketku dan merasa malas untuk menyalakannya dan melihat jam di sana. Tapi aku lega karena aku tidak terlambat, jam besar yang terletak di taman ini menunjukkan masih lima menit lagi pukul 07:30pm.
“Cinta...”aku menyebut namanya dengan perlahan saat aku melihat ke arahnya. Dia mengenakan rok di bawah lutut berwarna hijau gelap dan baju lengan panjang berwarna putih. Rambutnya yang sebahu membuatku tertarik padanya. Tentu bukan itu alasan utamanya, hanya saja aku tidak terlalu menyukai wanita berambut panjang.

“Apa kau menunggu lama?”
“Tidak, aku juga baru datang beberapa menit yang lalu”
“Oh iya, apa rumahmu dekat dari sini?”
“Ya, begitulah”
“Kau aneh ya”
“Kau baru mengetahuinya? Aku kira kau tahu lebih awal setelah membaca diary yang aku tinggalkan di perpustakaan” suaranya benar-benar menenangkan hati. Bicaranya pelan dan lembut, suaranya juga sedikit kecil.

“Tidak tidak! Bukan itu yang aku maksudkan. Biasanya, dalam masalah percintaan seperti ini. Yang lebih dulu mengungkapkan perasaannya adalah pihak laki-laki, tapi ini sebaliknya. Dan, seharusnya aku yang mengajakmu kencan, tapi kau malah mendahuluiku”

“Aku menyukaimu. Saat aku melihatmu memperhatikanku dari jendela perpustakaan. Aku memiliki pikiran bahwa kau melihatku dengan penuh perhatian. Pandangan, yang bahkan tidak aku dapatkan dari teman-temanku. Maukah kau menjadai kekasihku? Aku tidak ingin mendengar sebuah penolakan”

“Hahaha! Aku sekarang sangat yakin kalau kau ini aneh. Mengungkapkan perasaanmu pada seseorang tapi kau tidak ingin dia menolakmu, atau lebih tepatnya...kau memaksa dia untuk menerimamu”

“Jadi apa kau mau menerimaku?”
“Te...” dia mendekatkan diri padaku, menatapku dengan wajah memelas dan membuka sedikit bibir kecilnya yang di balut lipstik. Haah...bagaimana aku akan menolaknya?

“Tentu saja aku mau!”
“Terimakasih banyak”
“Jadi, apa kita akan terus berdiri seperti ini?”
“Oh iya, ayo kita duduk di sebelah sana. Di dekat pohon itu, sepertinya di sana nyaman”
“Ya, aku rasa juga begitu. Ayo kita kesana!”

Saat aku mengenggam tangannya seperti ini, aku merasa bahwa dia adalah milikku. Cinta...semoga kita akan tetap seperti ini.

Di dekat kursi ini ada sebuah lampu dengan cahaya yang tidak terlalu terang. Tapi itu juga tidak membuat tempat ini tampak gelap dari kejauhan. Aku menyandarkan tubuhku di kursi ini dengan Cinta duduk di sebelahku. Aku terkejut saat dia menyandarkan kepalanya pada bahuku dan justru mengenggam erat tanganku, bukannya melepaskannya begitu kita duduk di kursi ini.

“Hei Cinta, apa kau tidak kedinginan? Anginnya berhembus cukup kencang hari ini”
“Selama kau berada di sampingku dan aku bisa memelukmu seperti ini, itu sudah cukup memberikan rasa hangat untukku”

A! Aku keduluan lagi. Seharusnya yang mengatakan kalimat seperti itu adalah pihak laki-laki, aku. Tapi dalam kasus ini justru sebaliknya. Aku ragu jika dia belum pernah berpacaran sebelumnya.

“Aku bertanya serius, tapi kau justru menjawab dengan gombalan”
Cinta merapatkan pelukannya pada tanganku dan memperbaiki posisi kepalanya.
“Tidak, aku tidak sedang melakukan gombalan padamu. Memang itu yang aku rasakan sekarang...Dio”
“Terserahlah...Cinta”

07:30am di sekolah.

“Apa kau sudah selesai dengan tugasmu, Farhan?”

“Ya, cukup sulit tapi aku berhasil mengerjakan setangah. Tidak seperti Dio, aku sangat kesulitan dalam mengerjakan tugas ini. Jika kau tahu keadaanku semalam kau akan lebih memilih melihatku di hajar oleh Bu Siska daripada mengerjakan tugas darinya”

“Ya memang, di antara kita bertiga hanya Dio yang pintar. Aku juga berhasil mengerjakan setengah. Tapi setidaknya jika kita menyatukan hasil kerja keras kita tugas ini akan selesai”

“Tapi...Dio kenapa belum datang? Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya”
“Dio...Dio! Apa ada yang tahu Dio kemana?”
“Ti-tidak Bu Siska. Kami tidak tahu kemana Dio hari ini, dia juga tidak biasanya terlambat ke sekolah seperti ini sebelumnya”
“Kalau memang keadaannya seperti itu maka Ibu akan meulisnya ‘Alpa’ di absensi”

09:30am istirahat pertama. Di kantin.

“...jasad seorang laki-laki di temukan tidak bernyawa di sebuah taman pagi ini. dari idenitasnya dapat di ketahui bahwa laki-laki yang bernama Dio ini masih seorang pelajar di salah satu SMA...”

 “Farhan cepat buka youtube! Lihat liputan hari ini, di taman!”
 “Memangnya apa yang kau lihat itu, Reza?”
 “Sudah cepat lihat saja!”

“...Polisi mendapati tubuhnya kurus kering setelah membuka jaket kulit yang di kenakan oleh korban. Untuk sementara polisi memperkirakan bahwa korban tewas karena kehabisan darah...”

“Tapi...bukankah ini Dio?!”
“Itulah yang aku ingin kau melihatnya”

“...Tapi saat di periksa lebih lanjut polisi tidak menemukan adanya bekas luka di sekujur tubuh korban. Polisi segera membawa jasad korban ke rumahsakit untuk di otopsi”

05:00pm saat pulang sekolah.

“Aku pulang dulu ya, Farhan. Ya, hati-hati di jalan!”
“Pasti!”

Reza berjalan melalui lorong perpustakaan. Lorong yang Dio lewati sebelumnya.

“Eh! Kenapa gadis itu belum pulang?” saat Reza berjalan menuju pintu perpustakaan, dia melihat gadis itu sudah keluar dari sana. Namun sesuatu berkilau di tempat gadis itu duduk sebelumnya menarik perhatiannya. Dia mendekati tempat itu dan mendapati sebuah diary di sana.

“...temui aku di taman malam ini. Jangan datang lebih dari pukul 07:30pm, aku mohon.
Cinta”

END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Furigana, Hiragana dan Katakana

Sultan Mehmed II

Terkurung Di Hutan Hidup - part03