Lukisan Sang Putri

Cerita hari ini.

Dari seorang penulis amatir...

Sebuah lukisan tua yang di simpan di ruangan koleksi di salah satu vila. Petugas vila itu sudah memberitahukan pada pengunjuk vila untuk tidak memasuki ruangan itu. Namun, setelah 2 hari di vila itu, salah satu anak mereka mengalami ke jadian yang aneh. Biasanya anak itu tidak pernah berjalan sambil tidur di rumah mereka. Tapi di vila ini, hal itu terjadi.

Lukisan Sang Puteri

www.boombastis.com
Sebuah mobil keluarga sedang menuju ke daerah puncak. Mereka bermaksud menghabiskan waktu mereka dengan berlibur di sebuah fila yang memiliki pemandangan menarik di sekitarnya. Mereka sudah memesan fila itu jauh-jauh hari.

Jalan yang mereka lalui penuh dengan tanjakan dan tikungan yang tajam. Juga turunan yang landai menghadang mereka. Hingga mobil itu sampai di tempat tujuan mereka, si bungsu bernama Chika, turun dari mobil dan memuntahkan muatan perutnya. Sementara si sulung tanpa memikirkan Papa, mama juga adiknya, dia berlari menuju fila.

“Waaah! Bener pa, pemandangannya indah banget! Sama kayak yang kita liat di situsnya”
“Tapi hati-hati kalau main ya, kamu boleh main sepuas kamu di sini tapi ingat, jangan jauh-jauh dari kami” pria itu menurunkan satu persatu tas bawaannya dari dalam bagasi.
“Dan jangan lupa juga untuk menemani adikmu” wanita yang cantik dan juga ramah, ibu dari Chika. Menunjukkan jari telunjuknya pada Chika dan menatapnya dengan mata terbuka lebar.

“Asalkan Chika tidak lelet dan tidak manja aku akan dengan senang hati menemaninya, tapi...jika dia tetap seperti itu. Mungkin dia akan ku tinggal”
“Lisa, kamu ini selalu ya, tidak bisa akur dengan adikmu”
“Aku gak bisa denger mama!”

Bagaikan seorang puteri yang datang ke istana, anak itu masuk ke dalam fila dan meninggalkan keluarganya di belakang. Dari dalam fila dia melihat perbukitan yang sedikit, daerah kota dapat di lihatnya dengan jelas dari salah satu jendela ruangan itu. Dia berlari menuju pintu kaca yang terbingkai oleh kayu, ada sebuah kolam renang di sana. Dia sangat senang, tidak sabar untuk segera menceburkan diri ke dalam kolam itu.

“Papa ayo cepat pa, di sini ada kolam renangnya juga lho!”
“Lisa, apa kau dengar apa yang papa katakan barusan?! Jangan jauh-jauh dari kami!”
“Papa khawatiran banget sih? Lagian aku kan gak jauh-jauh amat dari papa”
“Lisa, awas kau ya! Udah berani ngelawan kalo di bilangin!”
“Udah pa, biarin aja dulu. Biar mama yang urus nanti”

Belum juga emosi sang papa mereda, seorang lelaki yang mengenakan pakaian pelayan datang menghampirinya. Tidak ada orang lain yang terlihat di sana. Orang itu membawa beberapa kunci ruangan fila itu.

“Pasti bapak dan ibu ini adalah orang yang memesan fila ini?”
“Ah, iya benar. Anda siapa ya?”
“Saya pelayan yang di tugaskan di fila ini. Selama bapak dan ibu liburan di sini, sayalah yang akan membantu memfasilitasi apa-apa yang bapak dan ibu perlukan. Boleh  saya membantu memasukkan barang bawaan kalian?”
“Oh iya silahkan. Kebetulan sekali kami sangat kecapaian setelah perjalanan panjang menuju fila ini”

“Kalau begitu, ini kunci ruangan fila ini. Saya berikan pada bapak. Di kunci itu sudah tertera nama-nama dari ruangan fila ini yang terkunci, jadi bapak dan ibu tidak perlu mencoba kuncinya satu persatu”
“Ah, terimakasaih banyak pak, saya terima kuncinya ya pak” mama tersenyum saat menerima kunci itu.

“Eh, tunggu dulu ma, kita kan belum tahu siapa nama bapak ini?”
“Oh iya, hampir aja lupa. Kalau boleh tau nama bapak ini siapa ya pak?”
“Saya Kardi, panggil saja pak Kardi”
“Oh, pak Kardi”
“Di situ ada satu kunci yang berlebel merah. Tolong ruangan itu jangan di buka ya pak, bu”
“Lho memangnya kenapa pak?”

“Saya sendiri juga tidak tahu bu, pemilik fila ini hanya menyuruh saya untuk memberitahu larangan ini. Beliau tidak menjelaskan kenapa ruangan itu tidak boleh di buka. Oh, iya permisi pak, bu. Saya mau...” pak Kardi menunjukkan jari jempolnya ke arah bagasi mobil yang terbuka, masih ada tas di dalam bagasi itu.

“Oh iya silakan pak! Keasikan ngobrol nih sampe lupa kita kalo tas-tas di bagasi belum di keluarin semua”

Mama dan Papa memperhatikan pak Kardi yang berjalan menuju mobil. Mereka saling menatap satu sama lain. Juga memiliki pikiran yang sama tentang kunci berlebel merah yang di pegang oleh mama.

“Pa, papa penasaran gak sih ama kunci yang ada lebel merahnya ini”
“Ya penasaran lah ma. Emang di situ tulisannya ruangan apa?”
“Bentar mama liat dulu ya”

Mama memperhatikan tulisan di lebel itu denga jeli. Bukan karena tulisannya yang kecil hingga sulit untuk membacanya, tapi karena warna tinta dan warna dari lebel itu yang sama-sama gelap, hingga mama kesulitan untuk membaca nama ruangan yang tertera di sana.

“Ruangan Koleksi”
“Ruangan koleksi?”
“Iya, ruangan koleksi”
“Emang di situ ada apaan ma, kok sampe gak di bolehin masuk?”

“Ya mama juga gak tahu. Udah deh pa, dari pada ngurusin ini mendingan kita langsung ke kamar, kasian Chika udah muntah-muntah tadi”
“Aku udah mendingan kok ma”
“Iya tapi kamu musti istirahat dulu kan, jangan langsung main kayak kakak kamu itu, bandel, susah banget kalo di bilangin”
“Ya udah, sekarang ayo kita lihat kamar kamu dan kak Chika, juga kamar mama” tangan papa mencubit hidung mama. Tapi bukan cubitan yang menyakitkan bagi mama.
“Ih papa genit deh! Udah ah, ayo buruan, mama udah capek nih!”

Papa, mama dan Chika pergi ke kamar mereka masing-masing untuk beristirahat. Saat pak Kardi selesai memindahkan tas-tas bawaan mereka, papa dan mama meninggalkan Chika di kamarnya dalam keadaan terlelap. Mereka mencari Lisa dan mengajaknya untuk istirahat.

Karena begitu senang, Lisa lupa bahwa tubuhnya juga butuh istirahat. Mereka sudah tahu jika Lisa akan menolak saat mereka ajak. Tapi begitu Lisa merebahkan tubuhnya di kasur, dengan cepat dia terlelap.

07:00am

“Ma, sarapannya mana nih ma? Papa dah laper nih!”
“Sabar dong, gak sabaran banget papa nih!”
“Kalo papa sih bisa sabar ma. Tapi perut papa nih yang gak bisa sabar, udah berontak cacingnya di dalem”
“Papa, mulai lagi deh”
“Ye! Kalo mama gak percaya coba aja tanya ke Lisa sama Chika!”
“Iya ma, laper nih”
“Iya ma, laper nih”

Lisa dan Chika menjawab kompak.

“Ya udah nih sarapan sepesial hari ini. Ikan gurame goreng dengan bumbu krispi dan di jamin menggoyang lidah”
“Asiiik! Hari ini kita makan ikan! Biasanya di rumah kita makan sayuuur terus jarang banget makan ikan kayak gini”
“Iya kak Lisa, kenapa mama gak masak ikan sering-sering. Kalo tiap hari mama masaknya ikan kita pasti semangat buat sekolah”
“Mama bisa aja masak ikan tiap hari, asalkan kalian mau nyari dan dapetin ikan gurame tiap hari juga”
“Hehehe! Gak jadi deh ma. Sayur juga enak kok, gak kalah enak sama ikan gurame, bener kan kak?”
“I-iya Chika bener banget!”

Saat Chika dan Lisa berumur tujuh tahun, mereka berlibur ke rumah kakek mereka di desa, mereka terkena duri ikan gurame saat mencoba memegang ikan itu tanpa sepengetahuan kakek. Mereka melemparkan ikan itu dan berlari kedalam rumah sambil menangis. Mama sudah memberitahu mereka bagaimana cara memegang ikan gurame yang benar, tapi mereka tetap saja takut. Hinga saat ini mereka tidak mau lagi berurusan dengan ikan gurame. Kecuali dalam satu hal, yaitu memakannya.

Ikan gurame masakan mama benar-benar enak. Papa, Chika dan Lisa hanya butuh waktu sebentar untuk menghabiskannya. Mama membawa piring-piring kotor yang sudah mereka gunakan untuk di cuci di dapur. Piring yang di gunakan untuk makan empat buah, untuk wadah ikan satu buah, jadi ke seluruhan lima buah piring.

“Kok piringnya ada enam sih? Perasaan yang aku pake cuman lima. Kok bisa nambah satu piringnya?”

Mungkin tadi aku lupa kalo aku abis make piring, terus gak segera aku cuci. Kan gak mungkin juga kalo di fila ini ada hantunya.

“Ayo dek cepetan ambil bolanya!”
“Tapi nyangkutnya tinggi banget kak, aku gak sampe!”
“Coba sekali lagi, kamu pasti bisa kok! Semangat!”

Mama menaruh piring-piring yang sudah dia cuci di tatakan piring dan menyusul kedua anaknya yang sedang bermain di luar rumah. Mama berjalan keluar dari dapur dan melihat bekas telapak kaki di lantai. Seperti baru saja ada orang yang melewati tempat itu dan orang itu tidak mencuci kakinya terlebih dahulu karena jejak telapak kaki itu penuh lumpur.

“Dasar anak-anak, ini pasti ulah mereka”
Mama mengambil kain basah untuk membersihkan jejak telapak kaki itu. Dia juga memberitahu Chika dan Lisa untuk tidak berjalan di dalam fila dengan kaki yang kotor.
“Chika, Lisa, kalo mau masuk fila kakinya cuci dulu, kotor semua nih lantainya”
“Kita pake sepatu kok ma, nih liat”
“Iya, aku juga make sepatu”
“Terus...itu bekas telapak kaki siapa dong?”
“Mungkin papa kali?”

Segera mama berjalan ke arah papa yang sedang duduk di bawah pohon. Papa yang sedang menikmati sejuknya udara di dataran tinggi sambil melihat bangunan kota yang tampak begitu kecil dari sana, tiba-tiba mama datang dan mengejutkan papa.

“Pa, papa ya yang masuk fila gak cuci kaki dulu?”
“Maksud mama apaan? Papa belum masuk fila lagi abis sarapan tadi”
“Terus yang di dalem itu jejak telapak kaki siapa doong?”
“Jejak telapak kaki? Jejak telapak kaki apaan ma?”
“Itu di dalem fila ada jejak telapak kaki!”
“Maksud mama apaan sih papa gak ngerti”
“Makanya sekarang  ayo ikut mama ke dalem!”

Mama memegang tangan papa dan menariknya ke dalam fila. Mama merasa marah dan juga takut. Kain basah yang mama ambil belum dia gunakan dan masih berada di tangan kirinya.

“Tadi itu mama ngeliat jejak telapak kaki di dapur pa!”
“Iya papa tau. Tapi kan mama juga tahu kalo papa pake sepatu, sepatunya bersih lagi. Jadi gak mungkin kan kalo ninggalin jejak telapak kaki. Chika ama Lisa juga make sepatu kok”
“Tapi mama beneran ngeliat jejak telapak kaki di sana pa, dan jejak telapak kakinya itu belom mama bersihin. Nih, mama ngambil kain ini buat ngelap jejak telapak kaki itu!”

Mama menunjukkan kain basah yang dia bawa di tangan kirinya.

“Tadi itu mama ngeliat jejak telapak kakinya di...sana pa”
“Mana? Mana jejak telapak kakinya? Gak ada kan? Udahlah itu mungkin cuman halusinasi mama aja”
“Gak pa gak mungkin! Mama beneran ngeliat jejak telapak kaki itu tadi. Papa percaya dong sama mama!”

Mama benar-benar ketakutan dan menangis lirih. Mama memeluk papa dan menjatuhkan airmatanya di pundak papa. Itu membuat baju papa sedikit basah, tapi papa merelakan hal itu.
“Udah ma tenang  ya, papa percaya kok ama mama. Kita keluar yuk, ke tempat Chika ama Lisa, biar pikiran mama tentang jejak telapak kaki aneh itu hilang...yuk!”

Mama masih menangis, tapi jauh lebih tenang setelah papa membujuknya.

07:00pm

“Pa”
“Iya ma”
“Kita kan tadi makannya pake lima piring, empat kita pake makan, terus yang satu buat wadah ikan guramenya”
“Iya, emang kenapa? Piring itu kan milik yang punya fila ini”
“Bukan itu yang pengen mama omongin pa. Tadi itu waktu mama nyuci piringnya, piringnya nambah satu”

“Mungkin mama lupa kali, tadi abis make terus gak cepet di cuci”
“Mama mikirnya juga udah gitu, tapi di tambah ama jejak telapak kaki yang mama liat mama mikirnya lain pa”
“Ssshhh! Udah mama jangan mikir yang aneh-aneh ah! Ini itu liburan ma, jadi tolong mama mikirnya itu hal-hal yang...menarik gitu kek. Yang berhubungan ama liburan. Biar pikiran mama gak kayak gitu”

Mama terdiam. Mencoba memikirkan hal menarik tentang liburan saat dia memejamkan matanya. Lalu tersenyum pada papa dan mengambil nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan.

“Nah gitu dong ma”
“Pa, itu bukannya Lisa?”

Mama melihat Lisa yang mengenakan piayama lewat di depan kamar mereka. Karena pintu kamar hanya terbuka sedikit, saat papa menoleh ke arah luar kamar Lisa sudah tidak terlihat di sana.

“Mana ma?”
“Itu, tadi Lisa barusan lewat!”

Papa dan mama menuju ke pintu kamar untuk memastikan apa yang mereka lihat.

“Iya bener ma itu Lisa. Tapi kenapa dia jalannya aneh gitu?”
“Bukannya dia tadi bilang ngantuk ya. Pengen tidur katanya”
“Iya tapi kenapa dia malah jalan-jalan malem-malem gini?”
“Ah mama jadi penasaran, coba kita ikutin pa!”
“Iya sama papa juga penasaran nih”

Lisa berjalan perlahan melalui lorong yang belum pernah dia lewati, bahkan mama dan papa juga belum pernah melewati lorong itu sejak pertama kali masuk ke fila itu.

“Pa, ini lorong kok auranya aneh banget ya”
“Aneh gimana ma?”
“Ya, kayak ada aura-aura negatifnya gitu”
“Maksud mama, nakhluk astral!”
“Kalo bukan itu apa lagi!”
“Ah jangan nakut-nakutin gitu ah ma!”

Papa dan mama saling merapatkan diri satu sama lain. Mereka berdua sangat ketakutan, lain halnya dengan Lisa yang melewati lorong ini dengan santai.

“Itu ruangan apaan pa? Kok pintunya warnanya merah? Yang lainnya warnanya coklat-coklat tapi itu kok merah sendiri?”
“Papa juga gak tahu. Tapi itu kayaknya ada tulisannya deh ma, tapi gak keliatan dari sini”
“Mana? ...oh iya bener ada tulisannya. Tapi tunggu dulu pa...semua ruangan di fila ini ke kunci kan?”
“Iya, nih kuncinya”

“Cring” papa membunyikan lirih kunci seluruh ruangan fila yang di pegangnya.

“Tapi itu kok...”

Lisa membuka pintu berwarna merah itu dengan mudah tanpa membutuhkan kunci untuk membukanya. Pintu itu segera tertutup setela Lisa masuk ke dalam ruangan itu. Saat itu juga aura negatif semakin di rasakan oleh papa dan mama.

“...Lisa enak banget bukanya, nggak perlu kunci”
“Ayo coba kita kesana pa!”

Mama dan papa mendekati pintu merah itu, jarak mereka yang cukup dekat memungkinkan mereka untuk membaca tulisan yang terdapat di pintu itu.

“Aksara jawa pa”
“Ya emang kenapa?”
“Papa kan tahu kalo mama gak bisa baca aksara jawa”
“O iya ya, papa lupa”
“Makanya buruan baca”
“Iya iya bentar, lagi ngidupin senter nih!”

Papa mengarahkan cahaya lampu senter yang dia pegang, dengan perlahan dia membaca aksara jawa yang tertera di pintu itu.

“Gimana bacanya pa?”
“RU-A-NGAN-KO-LE-K-SI...”
“...Ruangan koleksi?! Itu kan ruangan yang di larang ama pak Kardi!”
“Berati kita harus cepet selametin Lisa pa!”
“Tapi kok...”

Papa berusaha membuka pintu itu namun tidak bisa.

“Kenapa pa?”
“...Pintunya ke kunci ma. Perasaan tadi Lisa masuk pintunya gak ke kunci deh”
“Hee...hee...tu kan apa mama bilang tadi, pasti ini semua ada hubungannya ama piring makan ama jejak telapak kaki yang tadi pagi! Mama takut ah pa, papa aja yang masuk!”
“Mama mau di sini sendirian?”
“Ya enggak lah, mama takut”
“Makannya ayo buruan kita masuk bareng!”

Papa mencari kunci yang berlebel “Ruangan Koleksi” dan membuka pintu ruangan itu dengan kunci berlebel merah yang berarti larangan bagi mereka. Suasana di ruangan itu begitu mencekam dan sangat gelap. Lampu di lorong yang baru saja mereka lewati cahayanya sudah mulai meredup dan cat yang di gunakan untuk tembok itu menghipnotis mata mama dan papa. Mereka berdua seakan melihat kabut tipis saat mereka melewati lorong itu.

“Buruan nyalain senternya!”
“Iya ini juga lagi di nyalain!”

Papa mengarahkan senter itu ke seluruh ruangan dan banyak terdapat benda-benda antik yang tersusun dengan rapi di sana. Barang-barang antik itu di susun di bagian pinggir dan menyisakan sebuh lukisan di bagian tengahnya. Lukisan itu juga terletak lebih tinggi dari barang-barang yang lain.

Di ruangan itu sangat pengap, papa dan mama kesulitan untuk bernafas di sana. Begitu mereka masuk ke dalam ruangan itu, perhatian mereka teralihkan pada lukisan yang mereka lihat. Mereka lupa bahwa tujuan mereka adalah untuk mencari puterinya, Lisa.

“Gambarnya kayak orang-orang jaman keraton dulu ya pa?”
“Iya ma, keliatan jelas dari pakaiannya. Ada yang pake blangkon, bawa keris, terus prajuritnya bawa tombak di depan kereta kuda”
“Eh pa liat yang di atas kereta kuda deh!”
“Kenapa ma?”
“Matanya kayak ngeliat ke kita”
“Ah masak?!”

Papa mencoba melihat ke arah lukisan seseorang yang berada di atas kereta kuda, papa melihat mata dari seseorang di lukisan itu. Seorang ratu yang begitu cantik, itulah yang terlihat di sana. Tapi mata dari ratu itu memnadang ke arah papa dan mama. Mereka sedikit bergeser ke kanan, mata itu memandang mereka. Mereka bergeser sedikit ke kiri, mata itu tetap memandang mereka. Itu membuat mereka semakin merasa takut.

“Pa, takut pa”
“Ah mama nih penakut banget sih! Ini kan cuman lukisan”
“Ya tapi kalo ini bukan lukisan sembarangan gimana?!”
“Tapi itu...kayak gambarnya Lisa ma”
“Mana pa?”
“Ituuu”

Mama melihat ke arah gambar itu, puteri sulung mereka terlukis di sana. Lisa terlukis dengan wajah tanpa ekspresi dan tangannya melambai ke arah mama dan papa.

“Tapi kok tiba-tiba Lisa bisa kelukis di situ sih pa?”

Papa dan mama merasakan angin dingin yang bertiup dari belakang mereka.

“Apa kalian juga mau di lukis?”

Kalimat itu terucap dengan sangat perlahan dan begitu jelas. Jantung papa dan mama berdetak kencang saat suara itu masuk ke telinga mereka. Dari suara itu mereka bisa tahu bahwa itu adalah seorang perempuan.

Keringat dingin membasahi kepala papa dan mama dan bergerak ke seluruh tubuh mereka berdua. Dalam waktu singkat baju mereka sudah basah oleh keringat mereka sendiri. Detak jantung yang kencang membuat mereka kesulitan bernafas. Tidak hanya itu, aura dari perempuan yang berbicara di belakang mereka membuat mereka kesulitan mengerakkan tubu mereka.

“Glup”

Papa menelan ludah. Dia memaksa tangannya yang memegang senter untuk bergerak ke arah seorang wanita yang berada di lukisan itu. Cahaya itu bergerak secara perlahan, sedikit bergetar karena detak jantung Papa yang begitu keras. Sedikit demi sedikit gambar kereta kuda yang ada di lukisan itu terlihat. Papa menggerakkan cahaya senter itu terus ke atas hingga ke tempat seorang wanita yang mereka kira adalah seorang ratu.

“Ma”
“Iya pa”

Suara mereka berdua bergetar. Di tengah ketakutan itu, tidak banyak kata yang bisa mereka ucapkan. Papa dan mama menelan ludah mereka masing-masing dan memberanikan diri untuk melihat kebelakang. Disana, pemilik suara yang memancarkan aura negatif itu berada di belakang mereka.

Nafas papa dan mama semakin tidak terkendali karena jantung mereka berdetak lebih kencang. Mata melotot dan ekspresi tersenyum. Mengenakan kebaya dan rambut lurus terurai, alisnya berada jauh dari matanya dan lubang hidunnya dua kali lipat lebih besar dari milik papa dan mama.

“Apa kalian juga mau di lukis?”

Sosok itu mengulangi lagi kalimatnya dengan lebih pelan, namun papa dan mama tidak bisa bergerak saat mereka menatap mata sosok itu.

“HAAAAAAAA!!!!!!”

END

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Furigana, Hiragana dan Katakana

Sultan Mehmed II

Terkurung Di Hutan Hidup - part03